Nama: Agung Budi Nugroho
NPM: 18512245
Kelas: 2PA03
Erich Fromm
Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tahun 1900, dan
studi psikologi serta sosiologi di Universitas Heidelberg, Frankfurt dan
Munich. Setelah menerima gelar Ph.D dari Heidelberg (1922), ia mengikuti
training Psikoanalisa di Munich dan di Berlin Psychoanalitic Institute. Ia
berkunjung ke Amerika selaku lector di Chicago Psychoanalitic Institute dan
memasuki praktek privat di New York. Ia mengajar di beberapa universitas dan
institute di Negara itu dan di Mexico. Fromm kemudian tinggal di Switzerland.
Buku-bukunya cukup mendapat perhatian bukan saja dari para
spesialis dalam bidang psikologi, sosiologi, filsafat dan agama tetapi juga
dari masyarakat awam. Fromm banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx,
khususnya dalam kerja awalnya “The economican Philosophical manuscripts” yang
disusun pada tahun 1944. Karya tersebut diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh
T.B. Botomore termasuk tulisan Fromm “Marxs concept of man” (1961).Di dalam “beyond
the chain of illusion” (1962), Fromm memperbandingkan ide-ide Marx dengan
Freud, mencatat setiap kontradiksi yang ada dan mengusahakan suatu sinthesa
dari keduanya. Fromm menganggap Marx sebagai pemikir yang lebih dalam daripada
Freud dan memakai Psikoanalisa untuk melengkapi kekosongan-kekosongan dari
Marx. Fromm (1959) menulis suatu kritik, juga polemic, analisa dari teori
personality Freud dan pengaruhnya, lewat contrast, unconditional euology dari
Marx (1961). Walaupun Fromm digelari sebagai teoritikus personality Marxian, ia
sendiri memakai label “dialectic humanist” pada dirinya.
Tulisan-tulisan Fromm diinspirasikan oleh pengetahuannya
yang ekstensif tentang sejarah, sosiologi, literature dan philosophy. Inti dari
tulisan Fromm ialah keyakinannya bahwa manusia itu merasa kesepian dan
terisolir karena ia terpisah dari alam serta manusia lainnya. Kondisi
keterpisahan tersebut tidak dijumpai pada jenis makhluk yang lainnya, dengan
demikian ini merupakan “human situation” yang tersendiri. Sebagai contoh;
seorang anak memperoleh kebebasan dari ikatan dengan orang tuanya, hal ini
berakibat ia merasa terasing dan tak berdaya. contoh lain; seorang budak
menemukan kebebasannya hanya dengan menempatkan dirinya pada dunia asing yang
lebih berkuasa. Sebagai seorang budak, dia merasa ada yang memilikinya dan
merasa bahwa ia terikat dengan dunia dan orang lain, walaupun sesungguhnya ia
tidak bebas.
Dalam bukunya “escape from freedom” (1941). Fromm menulis
Thesis bahwa dengan kemampuannya manusia dapat mencapai / memperoleh lebih
banyak kebebasan lewat perkembangan usianya, tapi dia juga merasa semakin
kesepian, dan makna kebebasan kini memberi arti sebagai suatu kondisi yang
negative, dan untuk itu ia mencoba melepaskan diri dari kondisi tersebut.
Apakah jawaban dari dilemma ini? Manusia dapat
menyelesaikannya dengan cara menggabungkan diri pada orang lain, dengan rasa
cinta serta kerja yang terbagi, atau dia dapat menemukan rasa amannya dengan
tunduk akan otoritas dan taat (conform) kepada masyarakatnya. Dalam kasus ini
manusia menggunakan kebebasannya untuk mengembangkan suatu masyarakat yang
lebih baik, sedang dalam kasus lainnya manusia memperoleh perbudakan yang baru.
(Inti dari escape from freedom).
Buku ‘escape from freedom’ ditulis pada zaman diktator nazi,
dan memperlihatkan bahwa bentuk daripada totalitarianisme tersebut menarik bagi
orang-orang, karena memberikan suatu kebebasan yang baru. Namun dalam buku-buku
berikutnya (1947, 1955, 1964), Fromm menunjukkan bahwa bentuk apapun dari suatu
masyarakat, baik itu feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme maupun
komunisme, merupakan usaha daripada manusia untuk memecahkan basic kontradiksi
dari manusia. Dalam hal ini kontradiksi manusia sebagai bagian dari alam
sekaligus terlepas dari alamnya, dengan demikian sebagai manusia, sekaligus
sebagai binatang (hewan). Sebagai seekor hewan, manusia memiliki
kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang harus dipuaskan. Sebagai seorang manusia,
ia memiliki “self awareness”, “reason”, dan “imagination”. Pengalaman yang
unik bagi manusia adalah feeling of tenderness, love, attitude of interest,
responsibility, transcendence dan freedom; berikut value serta
norma-norma.
Dua aspek manusia yang bersifat ‘animal’ dan ‘human’, membentuk basic condition
(kondisi dasar) dari eksistensi (existence). Pengertian tentang psyche manusia,
harus didasarkan pada analisa kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari
kondisi alam eksistensinya.Kini apakah kebutuhan khusus (the specific need’s)
dari manusia itu sebagai wujud akibat dari kondisi-kondisi eksistensinya
tersebut?
Dalam hal ini ada 5 kebutuhan-kebutuhan :
- The need’s
for relatedness (hubungan)
Berasal dari fakta bahwa manusia dalam menjadi manusia
(memanusia), maka ia melepaskan ketergantungannya dari alamnya. Hewan
dilengkapi oleh alam untuk mengatasi setiap kondisi yang dijumpai, sedangkan
manusia dengan kemampuan akal dan imajinasinya menghilangkan ketergantungan
tersebut dari alamnya, dalam hal ini ikatan instinktif yang dialami seperti
halnya hewan, maka manusia menciptakan hubungannya secara tersendiri dengan
alamnya (dengan demikian, lain dengan hewan), dan hubungan yang paling
memuaskan dirinya didasarkan kepada “productive love”, dan “productive love”
senantiasa mengandung “mutual care”, “responsibility”, “respect”, dan “understanding”.
2. The need’s
for transcendence (mengatasi)
Berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk berada di luar
sifat-sifat hewaniah / animal, untuk menjadi seorang person yang kreatif
disamping tetap menjadi makhluk, apabila dorongan kreatif (creative urger)
mendapatkan rintangan, maka manusia menjadi seorang destroyer. Fromm
mengemukakan bahwa sesungguhnya cinta dan benci bukanlah dua dorongan yang
saling bertentangan. Keduanya merupakan jawaban bagi kebutuhan manusia untuk
mentranscendence-kan dari sifat-sifat animalnya, dengan demikian kalau hewan
tidak memiliki perasaan cinta maupun benci, maka manusia memilikinya (dengan
demikian, lebih transcendence).
3. The need’s
for rootedness (berakar)
Manusia menginginkan, membutuhkan keterikatan dengan alam,
ia ingin menjadi suatu bagian integral dari dunia, menginginkan bahwa dia ada
yang memilikinya; sebagai seorang anak yang terikat dengan ibunya, namun
apabila keterikatan semacam ini menetap, maka dapat dikatakan suatu “fiksasi”.
4. The need’s
for identity (identitas)
Meskipun manusia memperoleh keterikatan yang memuaskan dalam
suatu rasa persaudaraan dengan orang lain, manusia tetaplah memiliki keinginan
untuk mempunyai suatu ‘sense of identity’, untuk menjadi seorang individu yang
unik, dan apabila ia ternyata tak dapat mencapai goal tersebut melalui upaya
kreatifnya, ia akan memperoleh ciri yang berbeda lewat cara mengidentifisir
dirinya dengan orang lain atau kelompok lainnya – seorang budak akan
mengidentifikasikan dengan tuannya – seorang warga negara mengidentifikasi diri
dengan negaranya – seorang pekerja dengan perusahaan tempat ia bekerja. Di
dalam kasus-kasus ini, maka ‘sense of identity’ tercipta lewat cara ‘belonging
to someone’ dan bukannya lewat cara ‘being someone’.
5. The need's
for frame of orientation (kerangka acuan)
Akhirnya manusia membutuhkan suatu ‘kerangka acuan’, suatu
pegangan yang stabil dan konsisten dalam mengamati dan mengerti dunianya.
Kerangka acuan yang dikembangkan oleh manusia dapat bersifat rasional,
irrasional ataupun mengandung kedua elemen tersebut.
Bagi Fromm, maka kebutuhan-kebutuhan (need’s) ini merupakan
kebutuhan manusia yang murni serta benar-benar obyektif, dimana tidak ditemukan
pada hewan, dan dorongan semacam ini bukanlah ditentukan oleh masyarakat, namun
terdapat pada sifat manusiawi melalui suatu proses evolusi.
Kemudian apa yang dimaksud dengan relasi dari masyarakat
terhadap eksistensi manusia ?
Fromm yakin bahwasanya manifestasi yang spesifik dari kebutuhan-kebutuhan
tersebut; cara yang aktual dimana manusia menyadari akan ‘inner
potentialities’nya, akan ditentukan oleh ‘the social arrangement under which he
lives’. Kepribadian manusia berkembang sesuai dengan kesempatan yang diberikan
oleh masyarakatnya. Dalam suatu masyarakat kapitalis; misalnya, seseorang akan
memperoleh ‘sense of personal identity’ dengan menjadi seorang yang kaya atau
mengembangkan ‘feeling or rootedness’ dengan menjadi seorang pegawai
kepercayaan, ‘dependable’ dalam suatu perusahaan yang besar. Dengan kata lain,
penyesuaian diri manusia dengan masyarakat sering kali berbentuk kompromi
antara inner needs dengan tuntutan dari luar.
Seseorang mengembangkan suatu social character dalam
memenuhi tuntutan masyarakat.
Fromm selanjutnya mengemukakan 5 tipe karakter yang ditemukan dalam masyarakat
dewasa ini :
1. Receptive (menerima)
2. Exploitative (memperalat)
3. Hoarding (menimbun)
4. Marketing (memasarkan)
5. Productive (menghasilkan)
Lebih jauh lagi, Fromm mengemukakan enam pasang tipe
karakter, yaitu dengan menambahkan Necrophilus vs Biophilus (ketertarikan akan
kematian lawan ketertarikan akan kehidupan). Namun ini tidaklah parallel dengan
life and death instinct dari Freud. Bagi Freud, baik life maupun death instinct
adalah bisa dipisahkan (inherent), sedangkan menurut Fromm life instinct
hanyalah merupakan primary potentionality; death instinct adalah secondary, dan
hanya akan muncul apabila life forces mengalami frustrasi.
Berangkat dari pendirian tentang fungsi yang sebenarnya dari
suatu masyarakat, maka adalah hal yang sangat esensial untuk mengerti bahwa
karakter seorang anak itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tugas
orang tua dan pendidikan adalah membuat anak berkeinginan untuk mau bertindak
seperti dia bertindak apabila sistem ekonomi, politik dan sosial yang
dihadapinya dipelihara. Dengan demikian, dalam suatu sistem kapitalistis,
kegemaran menabung harus ditanamkan pada rakyat, digunakan sebagai modal dalam
memperluas kondisi ekonominya.
Dengan memberikan tuntutan terhadap manusia, yang
bertentangan dengan sifatnya (nature), maka masyarakat akan menjadi sebab
kesesatan dan frustrasi manusia. Masyarakat jadinya mengasingkan manusia dari
‘human situation’nya dan merintangi usaha manusia di dalam memenuhi ‘basic
condition’ dari eksistensinya.
Sebagai contoh : Kapitalisme dan komunisme, mencoba untuk
membuat manusia sebagai ‘robot’ – seorang buruh dengan upah yang rendah –
seorang yang tidak berarti – dan mereka (masyarakat semacam itu) cenderung atau
seringkali mengakibatkan seseorang cenderung gila (insanity), seperti
tindakannya yang anti sosial dan destruktif pada diri sendiri. Fromm menegaskan
bahwa suatu masyarakat secara keseluruhan adalah sakit, apabila ia tidak mampu
memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar dari manusia (basic need’s). Fromm juga
mengemukakan, bahwa apabila suatu masyarakat berubah secara drastis, misalnya
feodalisme yang berubah menjadi kapitalisme, ataupun apabila factory system
menggantikan sistem pekerja tangan secara perorangan, maka perubahan semacam
ini, akan berakibat dislocation (pergeseran letak) dalam karakter sosial dari
orang-orang.
Struktur karakter yang semula menjadi tidak sesuai dengan
masyarakat baru, dimana hal ini menambah lagi ‘sense of alienasi’
(keterasingan) dan keputusasaan. Dan terlepas dari ikatan tradisional dan
sampai dia belum dapat mengembangkan hubungan dan ikatan yang baru, maka dia
merasa kehilangan.
Problema daripada relasi manusia dengan masyarakatnya adalah
suatu masalah yang penting sekali bagi Fromm, dan dia berulang kali kembali
pada masalah itu. Fromm sungguh yakin akan validitas daripada
preposisi-preposisi di bawah ini :
1. Bahwa manusia memiliki suatu esensi,
sifat bawaan (inborn nature)
2. Masyarakat diciptakan manusia
sehubungan dengan pemenuhan esensi nature ini.
3. Tidak ada masyarakat yang telah
memenuhi pemuasan dari kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.
4. Adalah mungkin untuk menciptakan
suatu masyarakat.
Kini, bentuk masyarakat macam apakah yang diusulkan Fromm? Di
bawah ini adalah salah satunya :
“…..dimana manusia berhubungan dengan manusia atas dasar
mencintai (lovingly), dimana ia terikat secara persaudaraan dan solidaritas…..”
Suatu masyarakat yang memberikan dia kemungkinan untuk mentransendensikan
sifatnya (nature) dengan mencipta daripada merusak, dimana setiap orang itu
memperoleh ‘a sense of self’ dengan mengalami diri sebagai subyek dari
kekuasaannya, ketimbang dari hasil konformitas, dimana pula sistem orientasi
dan pengabdian (devote) muncul, tanpa melalui kebutuhan manusia untuk mencemarkan
atau menyelewengkan (to distort) realita dan menyembah dewa-dewa (idols).
Fromm menyarankan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna
seperti itu, yakni ‘humanistic communitarian socialism’. Di dalam
masyarakat semacam itu setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
manusia yang seutuhnya. Dimana tidak ada rasa kesepian, tidak ada rasa
terasing, tidak ada keputusasaan. Manusia menemukan suatu lingkungan baru (new
home) yang sesuai dengan human situation, masyarakat ini akan merealisir tujuan
Marx untuk memindahkan alienasi manusia di bawah suatu sistem dari pemilikan
perseorangan (private proverty) ke arah suatu kesempatan untuk realisasi diri
sebagai seorang manusia sosial, manusia yang aktif dan produktif di dalam
sosialisme. Fromm memperluas rencana tentang masyarakat ideal dengan menekankan
agar masyarakat teknologis saat ini dapat menjadi humanis (1968).
Walaupun pandangan Fromm berkembang dari observasinya
terhadap individu-individu dalam treatment-treatment yang dilakukan dan bacaan yang
luas dari masalah sejarah, ekonomi, sosiologi dan filsafat, namun ia telah
membuat suatu skala empiris akan penemuannya. Pada tahun 1957 Fromm memulai
suatu studi psikologi sosial di perkampungan Mexiko untuk mentest
teori-teorinya tentang karakter sosial. Ia melatih beberapainterviewers Mexiko
untuk memakai suatu depth questionnaire yang dapat diinterpretasikan dan diskor
untuk motivasi penting dan variabel-variabel karakter yang ada. Questioner
tersebut disuplementasikan dari ‘the Rorschach ink blot method’, yang mana
menggali sikap-sikap yang terpendam, perasaan-perasaan dan motif-motif. Tahun
1963 kumpulan data itu dilengkapi dan dipublikasikan pada tahun 1970 (Fromm dan
Maccoby, 1970).
Kemudian dapatlah diidentifisir 3 karakter sosial yang
utama, yaitu : the productive hoarding, the productive exploitative; dan the
unproductive receptive. The productive hoarding adalah tipe seperti
landowners dan para petani, the productive exploitative adalah para
businessman, dan the unproductive receptive adalah the poor workers. Dengan
perkawinan orang-orang pada karakter yang sama, maka ketiga tipe tersebut mulai
menjadi struktur kelas di perkampungan itu.
Sebelum pengaruh teknologi dan industri masuk ke
perkampungan itu, hanyalah terdapat 2 kelas, yakni : the landowners dan petani.
The productive exploitative hanya muncul sebagai tipe penyimpangan saja. Tipe
inilah yang akhirnya berinisiatif untuk menerapkan teknologi ke perkampungan
itu, mereka mulai menjadi lambang kepemimpinan dan kemajuan masyarakat. merekalah
yang menyajikan pertunjukan film-film murah, tadio, televisi, dan
komoditi-komoditi hasil pabrik. Sebagai konsekuensinya, petani yang miskin
mulai melepaskan diri dari nilai-nilai kebudayaan tradisionalnya meski tanpa
memperoleh keuntungan materiil yang berarti dari teknologi di masyarakat,
sehingga akhirnya film-film menghilangkan festival, radio menghilangkan
musik-musik lokal dan pakaian jadi melenyapkan barang tenunan, meubel, atau
furnitures melenyapkan pekerjaan tangan.
Fokus utama dari studi-studi yang dilakukan, memberikan
illustrasi kepada Fromm, bahwa (dalam Thesisnya), karakter (personality) itu
dipengaruhi dan terpengaruh oleh struktur dan perubahan sosial.
Contoh Kasus : Peran Media dalam Membangun Masyarakat Multikultur
Peranan
penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi
Marxis melihat media massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool).
Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya
masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan. Beberapa studi
tentang media massa di Indonesia menunjukkan hasil yang sangat beragam.
Dikaitkan dengan pembangunan nasional, pemetaan dampak media massa yang cukup
memadai dikemukakan oleh John T . Pranata sosial terhadap kondisi lingkungan
dengan modifikasi karakteriologi psiko-analitik. Teori Erich Fromm mengenai
watak masyarakat mengakui asumsi transmisi kebudayaan dalam hal membentuk
kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif. Namun Fromm juga mencoba menjelaskan
fungsi-fungsi sosio-historik dari tipe kepribadian tersebut yang menghubungkan
kebudayaan tipikal dari suatu kebudayaan obyektif yang dihadapi suatu
masyarakat. Untuk merumuskan hubungan tersebut secara efektif, suatu masyarakat
membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai
cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dua landasan ini
menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media massa, yang
mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat nyata (real)
dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara masyarakat real
dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik. Pandangan pertama, bahwa media
membentuk masyarakat bertolak dari Media massa dipandang punya kedudukan
strategis dalam masyarakat. Ashadi Siregar (2004) memetakan tiga fungsi
instrumental media massa, yaitu untuk memenuhi fungsi pragmatis bagi
kepentingan pemilik media massa sendiri, bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan
politik dari pihak di luar media massa, atau untuk kepentingan warga
masyarakat.Secara konseptual, keberadaan media massa dan masyarakat perlu
dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media
massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya
sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dua landasan
ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media massa,
yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat nyata
(real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara
masyarakat real dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik.Pandangan
pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari landasan bersifat
pragmatis sosial dengan teori stimulus respons dalam behaviorisme. Teori media
dalam landasan positivisme ini pun tidak bersifat mutlak, konsep mengenai
pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, pertama menimbulkan peniruan
langsung, kedua menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation), dan
ketiga terbebas dari tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media
massa.Pandangan kedua menempatkan media sebagai teks yang merepresentasikan
makna, baik makna yang berasal dari realitas empiris maupun yang diciptakan
oleh media.