Rabu, 30 April 2014

Kesehatan Mental

Nama: Agung Budi Nugroho
NPM: 18512245
Kelas: 2PA03

Erich Fromm

Erich Fromm lahir di Frankfurt, Jerman pada tahun 1900, dan studi psikologi serta sosiologi di Universitas Heidelberg, Frankfurt dan Munich. Setelah menerima gelar Ph.D dari Heidelberg (1922), ia mengikuti training Psikoanalisa di Munich dan di Berlin Psychoanalitic Institute. Ia berkunjung ke Amerika selaku lector di Chicago Psychoanalitic Institute dan memasuki praktek privat di New York. Ia mengajar di beberapa universitas dan institute di Negara itu dan di Mexico. Fromm kemudian tinggal di Switzerland.

Buku-bukunya cukup mendapat perhatian bukan saja dari para spesialis dalam bidang psikologi, sosiologi, filsafat dan agama tetapi juga dari masyarakat awam. Fromm banyak dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, khususnya dalam kerja awalnya “The economican Philosophical manuscripts” yang disusun pada tahun 1944. Karya tersebut diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh T.B. Botomore termasuk tulisan Fromm “Marxs concept of man” (1961).Di dalam “beyond the chain of illusion” (1962), Fromm memperbandingkan ide-ide Marx dengan Freud, mencatat setiap kontradiksi yang ada dan mengusahakan suatu sinthesa dari keduanya. Fromm menganggap Marx sebagai pemikir yang lebih dalam daripada Freud dan memakai Psikoanalisa untuk melengkapi kekosongan-kekosongan dari Marx. Fromm (1959) menulis suatu kritik, juga polemic, analisa dari teori personality Freud dan pengaruhnya, lewat contrast, unconditional euology dari Marx (1961). Walaupun Fromm digelari sebagai teoritikus personality Marxian, ia sendiri memakai label “dialectic humanist” pada dirinya.

Tulisan-tulisan Fromm diinspirasikan oleh pengetahuannya yang ekstensif tentang sejarah, sosiologi, literature dan philosophy. Inti dari tulisan Fromm ialah keyakinannya bahwa manusia itu merasa kesepian dan terisolir karena ia terpisah dari alam serta manusia lainnya. Kondisi keterpisahan tersebut tidak dijumpai pada jenis makhluk yang lainnya, dengan demikian ini merupakan “human situation” yang tersendiri. Sebagai contoh; seorang anak memperoleh kebebasan dari ikatan dengan orang tuanya, hal ini berakibat ia merasa terasing dan tak berdaya. contoh lain; seorang budak menemukan kebebasannya hanya dengan menempatkan dirinya pada dunia asing yang lebih berkuasa. Sebagai seorang budak, dia merasa ada yang memilikinya dan merasa bahwa ia terikat dengan dunia dan orang lain, walaupun sesungguhnya ia tidak bebas.

Dalam bukunya “escape from freedom” (1941). Fromm menulis Thesis bahwa dengan kemampuannya manusia dapat mencapai / memperoleh lebih banyak kebebasan lewat perkembangan usianya, tapi dia juga merasa semakin kesepian, dan makna kebebasan kini memberi arti sebagai suatu kondisi yang negative, dan untuk itu ia mencoba melepaskan diri dari kondisi tersebut.

Apakah jawaban dari dilemma ini? Manusia dapat menyelesaikannya dengan cara menggabungkan diri pada orang lain, dengan rasa cinta serta kerja yang terbagi, atau dia dapat menemukan rasa amannya dengan tunduk akan otoritas dan taat (conform) kepada masyarakatnya. Dalam kasus ini manusia menggunakan kebebasannya untuk mengembangkan suatu masyarakat yang lebih baik, sedang dalam kasus lainnya manusia memperoleh perbudakan yang baru. (Inti dari escape from freedom).

Buku ‘escape from freedom’ ditulis pada zaman diktator nazi, dan memperlihatkan bahwa bentuk daripada totalitarianisme tersebut menarik bagi orang-orang, karena memberikan suatu kebebasan yang baru. Namun dalam buku-buku berikutnya (1947, 1955, 1964), Fromm menunjukkan bahwa bentuk apapun dari suatu masyarakat, baik itu feodalisme, kapitalisme, fasisme, sosialisme maupun komunisme, merupakan usaha daripada manusia untuk memecahkan basic kontradiksi dari manusia. Dalam hal ini kontradiksi manusia sebagai bagian dari alam sekaligus terlepas dari alamnya, dengan demikian sebagai manusia, sekaligus sebagai binatang (hewan). Sebagai seekor hewan, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisiologis yang harus dipuaskan. Sebagai seorang manusia, ia memiliki “self awareness”, “reason”, dan “imagination”.  Pengalaman yang unik bagi manusia adalah feeling of tenderness, love, attitude of interest, responsibility, transcendence dan freedom; berikut  value serta norma-norma.

Dua aspek manusia yang bersifat ‘animal’ dan ‘human’, membentuk basic condition (kondisi dasar) dari eksistensi (existence). Pengertian tentang psyche manusia, harus didasarkan pada analisa kebutuhan-kebutuhan manusia yang berasal dari kondisi alam eksistensinya.Kini apakah kebutuhan khusus (the specific need’s) dari manusia itu sebagai wujud akibat dari kondisi-kondisi eksistensinya tersebut?

Dalam hal ini ada 5 kebutuhan-kebutuhan :
  1. The need’s for relatedness (hubungan)

Berasal dari fakta bahwa manusia dalam menjadi manusia (memanusia), maka ia melepaskan ketergantungannya dari alamnya. Hewan dilengkapi oleh alam untuk mengatasi setiap kondisi yang dijumpai, sedangkan manusia dengan kemampuan akal dan imajinasinya menghilangkan ketergantungan tersebut dari alamnya, dalam hal ini ikatan instinktif yang dialami seperti halnya hewan, maka manusia menciptakan hubungannya secara tersendiri dengan alamnya (dengan demikian, lain dengan hewan), dan hubungan yang paling memuaskan dirinya didasarkan kepada “productive love”, dan “productive love” senantiasa mengandung “mutual care”, “responsibility”, “respect”, dan “understanding”.

    2.  The need’s for transcendence (mengatasi)
Berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk berada di luar sifat-sifat hewaniah / animal, untuk menjadi seorang person yang kreatif disamping tetap menjadi makhluk, apabila dorongan kreatif (creative urger) mendapatkan rintangan, maka manusia menjadi seorang destroyer. Fromm mengemukakan bahwa sesungguhnya cinta dan benci bukanlah dua dorongan yang saling bertentangan. Keduanya merupakan jawaban bagi kebutuhan manusia untuk mentranscendence-kan dari sifat-sifat animalnya, dengan demikian kalau hewan tidak memiliki perasaan cinta maupun benci, maka manusia memilikinya (dengan demikian, lebih transcendence).

    3. The need’s for rootedness (berakar)
Manusia menginginkan, membutuhkan keterikatan dengan alam, ia ingin menjadi suatu bagian integral dari dunia, menginginkan bahwa dia ada yang memilikinya; sebagai seorang anak yang terikat dengan ibunya, namun apabila keterikatan semacam ini menetap, maka dapat dikatakan suatu “fiksasi”.

    4.  The need’s for identity (identitas)
Meskipun manusia memperoleh keterikatan yang memuaskan dalam suatu rasa persaudaraan dengan orang lain, manusia tetaplah memiliki keinginan untuk mempunyai suatu ‘sense of identity’, untuk menjadi seorang individu yang unik, dan apabila ia ternyata tak dapat mencapai goal tersebut melalui upaya kreatifnya, ia akan memperoleh ciri yang berbeda lewat cara mengidentifisir dirinya dengan orang lain atau kelompok lainnya – seorang budak akan mengidentifikasikan dengan tuannya – seorang warga negara mengidentifikasi diri dengan negaranya – seorang pekerja dengan perusahaan tempat ia bekerja. Di dalam kasus-kasus ini, maka ‘sense of identity’ tercipta lewat cara ‘belonging to someone’ dan bukannya lewat cara ‘being someone’.

    5. The need's for frame of orientation (kerangka acuan)
Akhirnya manusia membutuhkan suatu ‘kerangka acuan’, suatu pegangan yang stabil dan konsisten dalam mengamati dan mengerti dunianya. Kerangka acuan yang dikembangkan oleh manusia dapat bersifat rasional, irrasional ataupun mengandung kedua elemen tersebut.

Bagi Fromm, maka kebutuhan-kebutuhan (need’s) ini merupakan kebutuhan manusia yang murni serta benar-benar obyektif, dimana tidak ditemukan pada hewan, dan dorongan semacam ini bukanlah ditentukan oleh masyarakat, namun terdapat pada sifat manusiawi melalui suatu proses evolusi.

Kemudian apa yang dimaksud dengan relasi dari masyarakat terhadap eksistensi manusia ?
Fromm yakin bahwasanya manifestasi yang spesifik dari kebutuhan-kebutuhan tersebut; cara yang aktual dimana manusia menyadari akan ‘inner potentialities’nya, akan ditentukan oleh ‘the social arrangement under which he lives’. Kepribadian manusia berkembang sesuai dengan kesempatan yang diberikan oleh masyarakatnya. Dalam suatu masyarakat kapitalis; misalnya, seseorang akan memperoleh ‘sense of personal identity’ dengan menjadi seorang yang kaya atau mengembangkan ‘feeling or rootedness’ dengan menjadi seorang pegawai kepercayaan, ‘dependable’ dalam suatu perusahaan yang besar. Dengan kata lain, penyesuaian diri manusia dengan masyarakat  sering kali berbentuk kompromi antara inner needs dengan tuntutan dari luar.

Seseorang mengembangkan suatu social character dalam memenuhi tuntutan masyarakat.
Fromm selanjutnya mengemukakan 5 tipe karakter yang ditemukan dalam masyarakat dewasa ini :
1. Receptive (menerima)
2. Exploitative (memperalat)
3. Hoarding (menimbun)
4. Marketing (memasarkan)
5. Productive (menghasilkan)

Lebih jauh lagi, Fromm mengemukakan enam pasang tipe karakter, yaitu dengan menambahkan Necrophilus vs Biophilus (ketertarikan akan kematian lawan ketertarikan akan kehidupan). Namun ini tidaklah parallel dengan life and death instinct dari Freud. Bagi Freud, baik life maupun death instinct adalah bisa dipisahkan (inherent), sedangkan menurut Fromm life instinct hanyalah merupakan primary potentionality; death instinct adalah secondary, dan hanya akan muncul apabila life forces mengalami frustrasi.

Berangkat dari pendirian tentang fungsi yang sebenarnya dari suatu masyarakat, maka adalah hal yang sangat esensial untuk mengerti bahwa karakter seorang anak itu dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tugas orang tua dan pendidikan adalah membuat anak berkeinginan untuk mau bertindak seperti dia bertindak apabila sistem ekonomi, politik dan sosial yang dihadapinya dipelihara. Dengan demikian, dalam suatu sistem kapitalistis, kegemaran menabung harus ditanamkan pada rakyat, digunakan sebagai modal dalam memperluas kondisi ekonominya.

Dengan memberikan tuntutan terhadap manusia, yang bertentangan dengan sifatnya (nature), maka masyarakat akan menjadi sebab kesesatan dan frustrasi manusia. Masyarakat jadinya mengasingkan manusia dari ‘human situation’nya dan merintangi usaha manusia di dalam memenuhi ‘basic condition’ dari eksistensinya.

Sebagai contoh : Kapitalisme dan komunisme, mencoba untuk membuat manusia sebagai ‘robot’ – seorang buruh dengan upah yang rendah – seorang yang tidak berarti – dan mereka (masyarakat semacam itu) cenderung atau seringkali mengakibatkan seseorang cenderung gila (insanity), seperti tindakannya yang anti sosial dan destruktif pada diri sendiri. Fromm menegaskan bahwa suatu masyarakat secara keseluruhan adalah sakit, apabila ia tidak mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar dari manusia (basic need’s). Fromm juga mengemukakan, bahwa apabila suatu masyarakat berubah secara drastis, misalnya feodalisme yang berubah menjadi kapitalisme, ataupun apabila factory system menggantikan sistem pekerja tangan secara perorangan, maka perubahan semacam ini, akan berakibat dislocation (pergeseran letak) dalam karakter sosial dari orang-orang.

Struktur karakter yang semula menjadi tidak sesuai dengan masyarakat baru, dimana hal ini menambah lagi ‘sense of alienasi’ (keterasingan) dan keputusasaan. Dan terlepas dari ikatan tradisional dan sampai dia belum dapat mengembangkan hubungan dan ikatan yang baru, maka dia merasa kehilangan.

Problema daripada relasi manusia dengan masyarakatnya adalah suatu masalah yang penting sekali bagi Fromm, dan dia berulang kali kembali pada masalah itu. Fromm sungguh yakin akan validitas daripada preposisi-preposisi di bawah ini :
1.      Bahwa manusia memiliki suatu esensi, sifat bawaan (inborn nature)
2.      Masyarakat diciptakan manusia sehubungan dengan pemenuhan esensi nature ini.
3.      Tidak ada masyarakat yang telah memenuhi pemuasan dari kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.
4.      Adalah mungkin untuk menciptakan suatu masyarakat.

Kini, bentuk masyarakat macam apakah yang diusulkan Fromm? Di bawah ini adalah salah satunya :
“…..dimana manusia berhubungan dengan manusia atas dasar mencintai (lovingly), dimana ia terikat secara persaudaraan dan solidaritas…..” Suatu masyarakat yang memberikan dia kemungkinan untuk mentransendensikan sifatnya (nature) dengan mencipta daripada merusak, dimana setiap orang itu memperoleh ‘a sense of self’ dengan mengalami diri sebagai subyek dari kekuasaannya, ketimbang dari hasil konformitas, dimana pula sistem orientasi dan pengabdian (devote) muncul, tanpa melalui kebutuhan manusia untuk mencemarkan atau menyelewengkan (to distort) realita dan menyembah dewa-dewa (idols).

Fromm menyarankan suatu nama untuk masyarakat yang sempurna seperti itu, yakni ‘humanistic  communitarian socialism’. Di dalam masyarakat semacam itu setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi manusia yang seutuhnya. Dimana tidak ada rasa kesepian, tidak ada rasa terasing, tidak ada keputusasaan. Manusia menemukan suatu lingkungan baru (new home) yang sesuai dengan human situation, masyarakat ini akan merealisir tujuan Marx untuk memindahkan alienasi manusia di bawah suatu sistem dari pemilikan perseorangan (private proverty) ke arah suatu kesempatan untuk realisasi diri sebagai seorang manusia sosial, manusia yang aktif dan produktif di dalam sosialisme. Fromm memperluas rencana tentang masyarakat ideal dengan menekankan agar masyarakat teknologis saat ini dapat menjadi humanis (1968).

Walaupun pandangan Fromm berkembang dari observasinya terhadap individu-individu dalam treatment-treatment yang dilakukan dan bacaan yang luas dari masalah sejarah, ekonomi, sosiologi dan filsafat, namun ia telah membuat suatu skala empiris akan penemuannya. Pada tahun 1957 Fromm memulai suatu studi psikologi sosial di perkampungan Mexiko untuk mentest teori-teorinya tentang karakter sosial. Ia melatih beberapainterviewers Mexiko untuk memakai suatu depth questionnaire yang dapat diinterpretasikan dan diskor untuk motivasi penting dan variabel-variabel karakter yang ada. Questioner tersebut disuplementasikan dari ‘the Rorschach ink blot method’, yang mana menggali sikap-sikap yang terpendam, perasaan-perasaan dan motif-motif. Tahun 1963 kumpulan data itu dilengkapi dan dipublikasikan pada tahun 1970 (Fromm dan Maccoby, 1970).

Kemudian dapatlah diidentifisir 3 karakter sosial yang utama, yaitu : the productive hoarding, the productive exploitative; dan the unproductive receptive. The productive hoarding  adalah tipe seperti landowners dan para petani, the productive exploitative adalah para businessman, dan the unproductive receptive adalah the poor workers. Dengan perkawinan orang-orang pada karakter yang sama, maka ketiga tipe tersebut mulai menjadi struktur kelas di perkampungan itu.
Sebelum pengaruh teknologi dan industri masuk ke perkampungan itu, hanyalah terdapat 2 kelas, yakni : the landowners dan petani.

The productive exploitative hanya muncul sebagai tipe penyimpangan saja. Tipe inilah yang akhirnya berinisiatif untuk menerapkan teknologi ke perkampungan itu, mereka mulai menjadi lambang kepemimpinan dan kemajuan masyarakat. merekalah yang menyajikan pertunjukan film-film murah, tadio, televisi, dan komoditi-komoditi hasil pabrik. Sebagai konsekuensinya, petani yang miskin mulai melepaskan diri dari nilai-nilai kebudayaan tradisionalnya meski tanpa memperoleh keuntungan materiil yang berarti dari teknologi di masyarakat, sehingga akhirnya film-film menghilangkan festival, radio menghilangkan musik-musik lokal dan pakaian jadi melenyapkan barang tenunan, meubel, atau furnitures melenyapkan pekerjaan tangan.

Fokus utama dari studi-studi yang dilakukan, memberikan illustrasi kepada Fromm, bahwa (dalam Thesisnya), karakter (personality) itu dipengaruhi dan terpengaruh oleh struktur dan perubahan sosial.

Contoh Kasus : Peran Media dalam Membangun Masyarakat Multikultur
Peranan penting sebagai katalisator dalam masyarakat (Lasswell, 1934), bahkan teoretisi Marxis melihat media massa sebagai piranti yang sangat kuat (a powerfull tool). Namun seiring dengan semakin beragamnya media dan semakin berkembangnya masyarakat, kebenaran teori-teori tersebut menjadi diragukan. Beberapa studi tentang media massa di Indonesia menunjukkan hasil yang sangat beragam. Dikaitkan dengan pembangunan nasional, pemetaan dampak media massa yang cukup memadai dikemukakan oleh John T . Pranata sosial terhadap kondisi lingkungan dengan modifikasi karakteriologi psiko-analitik. Teori Erich Fromm mengenai watak masyarakat mengakui asumsi transmisi kebudayaan dalam hal membentuk kepribadian tipikal atau kepribadian kolektif. Namun Fromm juga mencoba menjelaskan fungsi-fungsi sosio-historik dari tipe kepribadian tersebut yang menghubungkan kebudayaan tipikal dari suatu kebudayaan obyektif yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk merumuskan hubungan tersebut secara efektif, suatu masyarakat membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media massa, yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat nyata (real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara masyarakat real dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik. Pandangan pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari Media massa dipandang punya kedudukan strategis dalam masyarakat. Ashadi Siregar (2004) memetakan tiga fungsi instrumental media massa, yaitu untuk memenuhi fungsi pragmatis bagi kepentingan pemilik media massa sendiri, bagi kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik dari pihak di luar media massa, atau untuk kepentingan warga masyarakat.Secara konseptual, keberadaan media massa dan masyarakat perlu dilihat secara bertimbal balik. Untuk itu ada 2 pandangan yaitu apakah media massa membentuk (moulder) atau mempengaruhi masyarakat, ataukah sebaliknya sebagai cermin (mirror) atau dipengaruhi oleh realitas masyarakat. Dua landasan ini menjadi titik tolak dari bangunan epistemogis dalam kajian media massa, yang mencakup ranah pengetahuan mengenai hubungan antara masyarakat nyata (real) dengan media, antara media dengan masyarakat cyber, dan antara masyarakat real dengan masyarakat cyber secara bertimbal-balik.Pandangan pertama, bahwa media membentuk masyarakat bertolak dari landasan bersifat pragmatis sosial dengan teori stimulus respons dalam behaviorisme. Teori media dalam landasan positivisme ini pun tidak bersifat mutlak, konsep mengenai pengaruh media massa terdiri atas 3 varian, pertama menimbulkan peniruan langsung, kedua menyebabkan ketumpulan terhadap norma (desensitisation), dan ketiga terbebas dari tekanan psikis (catharsis) bagi khalayak media massa.Pandangan kedua menempatkan media sebagai teks yang merepresentasikan makna, baik makna yang berasal dari realitas empiris maupun yang diciptakan oleh media.